Lingkungan
JK Minta Pemerintah Bertindak dalam Kasus Tembok Laut, Mahfud MD: HGB Ilegal Perlu Proses Hukum
Laporan Jusuf Kalla mengenai pentingnya tindakan pemerintah untuk masalah tanggul laut di Tangerang menyisakan pertanyaan: Apa langkah selanjutnya yang akan diambil?

Jusuf Kalla menekankan kebutuhan mendesak akan tindakan pemerintah terkait masalah tembok laut yang belum terselesaikan di Tangerang. Ia menyoroti lambannya tanggapan pemerintah sejak masalah tersebut diidentifikasi pada Agustus 2024, mengangkat kekhawatiran tentang akuntabilitas dan transparansi. Kalla menunjukkan kontras yang mencolok dalam urgensi yang ditunjukkan dalam menanggapi kejahatan kekerasan dibandingkan dengan masalah lingkungan ini. Kita harus mendorong perhatian yang sama terhadap semua masalah keselamatan komunitas, dan masih banyak lagi yang harus diungkap tentang implikasi dari tindakan-tindakan ini.
Seiring meningkatnya frustrasi terkait masalah tembok laut yang belum terselesaikan di Tangerang, Jusuf Kalla telah meminta pemerintah untuk mengambil tindakan segera. Kekhawatirannya mencerminkan perasaan banyak orang di komunitas kita yang telah menyaksikan lambatnya kemajuan dalam mengidentifikasi pihak yang bertanggung jawab atas tembok laut, terutama mengingat keberadaannya telah diketahui sejak Agustus 2024.
Di era di mana akuntabilitas menjadi sangat penting, Kalla mempertanyakan mengapa masalah ini tidak mendapatkan urgensi yang sama dengan masalah mendesak lainnya, seperti penyelesaian cepat kejahatan kekerasan.
Sangat mencolok untuk dicatat bahwa sementara kejahatan kekerasan—seperti kasus pembunuhan baru-baru ini—ditangani dengan cepat, penyelidikan terkait tembok laut tetap stagnan beberapa bulan kemudian. Perbedaan waktu respons ini menimbulkan pertanyaan serius tentang akuntabilitas pemerintah dan prioritas masalah yang mempengaruhi kesejahteraan publik.
Kritik Kalla terhadap pemerintah Tangerang berpusat pada kegagalan mereka untuk menjelaskan kepemilikan tembok laut setelah mereka melaporkan keberadaannya kepada otoritas provinsi pada September 2024. Ambiguitas semacam ini hanya menumbuhkan ketidakpercayaan di antara penduduk yang layak mendapatkan transparansi dan tindakan tegas.
Kalla menggambarkan kurangnya transparansi pemerintah sebagai “berlebihan,” sebuah sentimen yang resonansi dengan banyak dari kita. Kita semua ingin melihat pemerintah yang terbuka dan proaktif, terutama mengenai masalah yang langsung mempengaruhi pengelolaan pesisir dan keselamatan komunitas.
Ketidakpastian yang berkelanjutan mengenai tembok laut bukan hanya masalah birokrasi; ini merupakan kegagalan dalam menjunjung hak publik untuk mengetahui dan diinformasikan tentang masalah lingkungan dan keselamatan yang signifikan.
Kekhawatiran publik yang meningkat mengenai tembok laut tidak luput dari perhatian, mendapatkan perhatian media yang signifikan. Pengawasan yang meningkat ini memperkuat seruan akan akuntabilitas dalam pemerintahan.
Sebagai warga negara, kita harus menuntut agar pemimpin kita bertindak bertanggung jawab, memastikan bahwa praktik pengelolaan pesisir tidak hanya efektif tetapi juga transparan. Jika pemerintah dapat menggerakkan sumber daya dan menyelesaikan kejahatan kekerasan dengan cepat, mengapa mereka tidak dapat menerapkan urgensi yang sama pada masalah yang mempengaruhi infrastruktur pesisir kita?