Sosial
Dampak Psikologis dari Kenangan Lama: Mengapa Beberapa Orang Memilih Jalur Kekerasan
Dalam mengeksplorasi dampak psikologis dari kenangan lama, kita mengungkap mengapa beberapa individu melakukan kekerasan—apakah trauma yang tidak terselesaikan bisa menjadi pemicu tersembunyi?

Saat kita menjalani kehidupan, kenangan lama seringkali tertinggal dalam pikiran kita, membentuk siapa kita saat ini. Kenangan-kenangan ini bisa berfungsi seperti bayangan, terkadang memberi kenyamanan dan terkadang menghantui. Ketika kita mengalami trauma, respons kita terhadap kenangan tersebut bisa sangat bervariasi. Beberapa dari kita mungkin menekan kenangan tertentu, percaya bahwa dengan melakukan itu, kita dapat melindungi diri dari rasa sakit.
Namun, penekanan memori ini tidak selalu membantu kita. Sebaliknya, itu dapat menciptakan siklus emosi dan perilaku yang tidak terselesaikan yang mempengaruhi hubungan kita, rasa diri kita, dan bahkan pilihan kita di momen kritis.
Penelitian menunjukkan bahwa respons terhadap trauma bisa bermanifestasi dalam banyak cara. Bagi sebagian orang, mereka dapat mengarah pada kemarahan, agresi, atau bahkan kekerasan sebagai upaya yang salah arah untuk menguasai dunia yang kacau. Ketika kita merasa terjebak oleh masa lalu, mungkin tampak bahwa satu-satunya cara untuk merebut kembali kekuasaan adalah melalui tindakan yang keras.
Kita mungkin bahkan tidak sepenuhnya sadar bahwa kemarahan kita berasal dari kenangan yang ditekan, tetapi koneksi seringkali ada di sana. Sangat penting untuk memahami bahwa reaksi-reaksi ini bukan hanya pilihan; mereka adalah respons yang sangat mendasar terhadap pengalaman yang telah kita coba kubur.
Ketika kita menemui pemicu yang mengingatkan kita pada trauma kita, tubuh kita bereaksi secara naluriah. Kita mungkin meledak atau mundur, percaya bahwa kita sedang melindungi diri. Namun, mekanisme pertahanan ini seringkali mengarah pada isolasi lebih lanjut, memperkuat kenangan yang kita coba tekan.
Ini adalah siklus yang keras, dan mematahkannya membutuhkan keberanian dan pemahaman. Kita perlu mengakui bahwa merasa tidak nyaman ketika mengunjungi kembali kenangan yang menyakitkan itu adalah hal yang normal. Bahkan, menghadapi emosi ini dapat mengarah pada penyembuhan dan pada akhirnya, kebebasan dari cengkeraman mereka.
Empati memainkan peran vital dalam proses ini. Ketika kita mengakui bahwa orang lain mungkin juga sedang menghadapi traumanya, kita dapat membina koneksi yang mendorong penyembuhan. Dialog yang penuh belas kasih dapat membantu kita merasa kurang sendirian dalam perjuangan kita.
-
Ekonomi1 minggu ago
Jam Perdagangan Saham yang Diperpanjang: Apa Manfaatnya untuk Indonesia?
-
Ekonomi3 hari ago
IHSG Bisa Turun Signifikan, Perhatikan BBRI, INDF, dan MEDC
-
Politik1 minggu ago
Rieke Diah Pitaloka Mengkritik Keputusan Menteri Dalam Negeri untuk Menyerahkan 4 Pulau Aceh kepada Sumatera Utara, Menyebutnya Tidak Sah dan Batal Secara Hukum
-
Politik1 minggu ago
Komentar Lucu dari Mualem Setelah 4 Pulau Aceh Masuk Sumatera Utara: Bisa Gak Kita Ambil Saja Andaman?
-
Politik1 minggu ago
Prabowo Mengakui Meniru Kebijakan Sukses Singapura
-
Politik3 hari ago
Serangan Rudal Iran ke Israel, Sirene Menyala di Tel Aviv
-
Ekonomi23 jam ago
OJK Mengungkapkan Kondisi Terkini Industri Keuangan
-
Pendidikan23 jam ago
IQ orang Iran lebih tinggi daripada orang Israel: Indonesia masih jauh di belakang, siapa yang nomor satu?